Bagaimana

Di ruang tengah. Mereka berdua duduk berhadap-hadapan dalam diam. Semenjak tadi es di antara mereka belum juga mencair. Jika kata tak lagi bermakna, lebih baik diam saja.

Kata, 
semua ini tentang kata yang tak bisa terucap. Bukannya tak bisa, tetapi es di antara mereka telah membekukan tenggorokan. Dingin, dan begitu menyesakkan.

Lalu, entah mengapa kata pun akhirnya takluk oleh dinginnya diam.

Diam pun berkata-kata.

#Bagaimana aku bisa percaya denganmu, bila kau saja tak pernah menyapaku, tak pernah menghargai apa yang telah kulakukan, tak pernah ada jika ku butuh, tak pernah mendengarkan apa yg kukatakan, tak pernah menepati janji janji kecilmu, tak pernah...,

tak pernah menganggapku ada.




lalu bagaimana aku bisa percaya penuh dengan diriku sendiri, jika aku pun tak dipercaya orang lain.

*Aku percaya kepadamu. Sungguh. Kau saja yang tak pernah melihatnya. Tak pernah mengakui keberadaannya. 

#Omong Kosong. Kau hanya mementingkan dirimu sendiri. Kau cuma menggunakan berbagai macam alasan untuk membenarkan kekeliruan yang kau perbuat selama ini. Aku tak butuh alasanmu lagi.

*Kau sungguh keras kepala.

#Lalu mau apa lagi? Bukankah ini memang sudah waktunya aku untuk keras kepala? Kau ingin aku terus menerus bersabar? Cih.

*(diam)

*Maaf.

#Segampang itu?

*(diam)

Diam mengawali pembicaraan mereka sore itu. Diamlah yang mengalahkan kata untuk berkata-kata. Dan diam juga yang mengakhirinya.

Tak ada dialog yang terucap dalam diam. Tetapi udara di sekitarlah yang menghantarkannya.

Es itu tak pernah mencair.

2 comments: (+add yours?)

Just Me-Meta said...

dan ketika diam sudah menguasai segalanya,,yang tersisa hanyalah penyesalan atas kata yang tak pernah terucap
(sok puitis,mellow mode on)

Flippy said...

Dan, met..
akhirnya aku sudah kembali netral, tak berpolar..
hufff

Post a Comment